16 Februari 2025

17 BERSAMA BAPAK

Karya: Ainava Nurul Azqiyah

                      Satu jam berlalu, hari-hari berlalu hingga 17. Bapak masih dengan luka di kakinya, menahanku dalam gendongannya. Apa bapak tak lelah? Benakku bertanya. Ku isi malam-malam gelapku ditemani buku dan tulisan pena yang hampir memudar, kuceritakan di atasnya bagaimana bapak hampir mati demi memberiku sesuap nasi. Kami tinggal berdua usai ibu memilih pergi merantau keluar kota. Tak ada kabar, balasan pesan, bahkan secuil aroma tubuhnya mulai menghilang dari pelukanku. Bapakku seorang pekerja keras, apapun ia lakukan meski hanya mendapat 20 ribu perharinya. Ia lakukan demi rasa kecewanya pada ibu, dan aku yang harus sukses untuk mengangkat derajatnya.

 

 

Menginjak bangku kelas 2 SMA, ayah semakin gencar mencari segala pekerjaan halal untuk membiayai sekolahku. “Juwita udah bilang berapa kali sama bapak? Juwita udah gede, Juwita bisa cari kerja sampingan” . “selama bapak belum waktunya pulang, hidup bapak sepenuhnya buat kamu, nak” perdebatan kumulai di ruang tamu dengan atap yang sudah hampir hancur, saat ingin beranjak pergi ke sekolah, bapak memberiku beberapa uang yang tak ternilai sedikit, untuk menambal SPP ku yang sudah 3 bulan tak terbayar. Aku pergi berjalan menaiki sepatu usang dengan tangis yang tak juga mereda, “sudah berapa janji pak? Janji aku harus sukses untuk bapak” .

 

Langit mulai mengeluarkan sinar senja miliknya, menggoda pandang manusia, sejuk dengan gerimis sore menjelang malam. Aku pulang dari sekolah, berjalan bergandengan dengan rasa lelah yang menggerogoti tubuhku, kubayangkan tiba di rumah dengan bapak yang baru pulang dari penjelajahannya, duduk berdua di teras rumah, bernostalgia, tertawa, bahkan menangis berdua. Tiba di pelataran rumah, rumah kayu yang sudah rapuh itu ramai orang-orang dengan tangisan mereka, kerabat dekat yang selama ini bersikap tak peduli, hadir dengan tangisan yang menyayat hati. Hatiku semakin hancur, berantakan tak tersusun menatap bendera kuning yang bertengger manis di depan rumahku. Ah.. bapak sebelumnya mengatakan jika hidupnya adalah milikku sebelum ia pulang. Aku berlari menerobos kerumunan orang dengan perasaan yang kalut. Bapak sudah pergi rupanya, kulihat ibu disampingnya, dengan surat cerai dan surat putusan hak asuh anak, hancur ku dibuatnya. Aku tak pernah berpikir ibu akan pulang dengan rasa egoisnya, meninggalkan bapak dan mengambil ku dari dekapannya. Hatiku hancur, bayangan bapak tak lagi nampak seperti biasanya, nostalgia sore sudah tak memiliki tema. Aku kembali berjalan di sampingnya, mengantar bapak pulang ke rumah yang selama ini dia bicarakan, bunga-bunga ditaburkan, aku tak mampu mengucapkan banyak hal selain rasa terima kasih yang berlebih, untuk candaan, cerita, tangis, dan rasa lelah yang ia beri untukku, untuk hal-hal menyenangkan selama 17 tahun aku hidup di dunia ini, bagiku, segala hal menjadi menyenangkan jika bersama bapak. Terima kasih, bapak.

 

 

Djakarta, 17 September 2014

1 thought on “17 BERSAMA BAPAK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *